Beberapa
minggu terakhir ini saya menjalani hari-hari sebagai seorang mahasiswa baru.
Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang lainnya, alih-alih pusing karena
bertemu pelajaran yang makin mendalam, saya justru malah sibuk menggambar. Ya,
saya sekarang kuliah di jurusan seni.
Mungkin Anda
berpikir betapa menyenangkannya kuliah di jurusan seni yang setiap hari
kerjaannya hanya menggambar dan menggambar. Namun sayangnya, hal tersebut tidak
berlaku untuk saya.
Ya, sejak pertama
kali masuk kuliah jurusan seni, saya menghadapi sebuah kendala: saya tidak
begitu handal menggambar.
Apa yang terjadi?
Ya, nilai saya selalu buruk.
Gawatnya lagi, saya
mendapatkan seorang asisten dosen yang paling perfeksionis. Ya, orangnya baik,
tetapi sangat teliti dalam menilai tarikan garis seseorang. Sewaktu mendapatkan
tugas pertama, gambar saya ditolak.
Asisten Dosen Saya:
"Gambar kamu kurang bagus. Tolong diulang di rumah, dirapikan lagi
ya."
Sudah. Beliau hanya
berkata sesingkat itu. Di rumah, saya langsung saja mengulang gambar tersebut
di kertas yang baru namun saya berupaya agar hasilnya lebih maksimal lagi.
Minggu depannya, saya berikan lagi ke asisten dosen saya.
Asisten Dosen saya:
"Gambar kamu kok masih gini-gini aja? Kan sudah saya bilang, dirapikan
lagi! Kok gak ada rapi-rapinya?"
Saya diam dengan
seribu tanda tanya di kepala.
Asisten Dosen Saya:
"Saya beri waktu satu minggu lagi, kalau masih kayak begini juga, kamu
saya beri nilai C."
Setibanya di rumah
saya langsung menggambar dengan lebih bagus lagi. Minggu depannya, saya berikan
lagi tugas tersebut ke asisten dosen saya.
Asisten Dosen Saya:
"Saya bingung sama kamu. Lihat nih, garis yang ini." (menunjuk ke
sebuah garis dari gambar saya)
Asisten Dosen Saya:
"Menurut kamu garis ini tarikannya konsisten ga?"
Saya diam sejenak,
lalu mengangguk dengan yakin.
Saya: "Ya Pak.
Saya sudah menggambar gambar ini 3 kali."
Asisten Dosen Saya:
"Saya tidak peduli kamu mau ngulang berapa kali juga. Yang jelas gambar
kamu kurang rapi."
Saya terdiam. Saya
benar-benar tidak mengerti dimana letak kesalahan saya.
Asisten Dosen Saya:
"Kamu tahu kesalahan kamu?"
Saya menggeleng.
Asisten Dosen Saya:
"Pokoknya gambar kamu kurang rapi!"
Beliau membanting
kertas gambar saya ke atas meja. Beberapa mahasiswa langsung melirik ke arah
kami berdua.
Asisten Dosen Saya:
"Nih lihat, gambar teman kamu yang dapat nilai terbaik." (menunjukkan
gambar teman saya)
Asisten Dosen Saya:
"Beda kan? Lebih enak dilihat kan?"
Saya: "Apa yang
membedakan ya Pak? Apa keruncingan pensilnya?"
Asisten Dosen Saya:
"Keruncingan memang berpengaruh. Tapi kalau tangan kamu berskill, pensil tumpul pun gak masalah."
Asisten Dosen Saya:
"Gini deh, saya akan berikan keringanan pengumpulan tugas sampai seminggu
sebelum ujian tengah semester. Tapi harus benar-benar rapi."
Setibanya di rumah,
saya menggambar ulang gambar tersebut. Namun bukannya memperbagus gambar, saya
hanya menggambar ulang dengan menggunakan pensil yang merknya berbeda dan
harganya lebih murah. Minggu depannya saya berikan tugas tersebut ke asisten
dosen saya.
Asisten Dosen Saya:
"Nah, ini kamu bisa gambar rapi! Kenapa gak dari kemaren kayak
begini!"
Saya langsung
mendapatkan nilai A diantara teman-teman saya yang mendapat nilai B. Bahkan
pada tugas-tugas berikutnya pun, saya langsung mendapat nilai tertinggi
ketimbang teman-teman saya.
Ah ….
***
Ada
sebuah fakta menarik bahwa orang-orang yang belajar seni tari Balet atau
olahraga Yoga memiliki kemampuan yang lebih baik dalam hal memecahkan masalah
kehidupan. Mengapa?
Logisnya,
kondisi tubuh kita memengaruhi kemampuan berpikir kita. Misalnya, apabila tubuh
Anda bugar, maka pikiran Anda juga akan bugar. Apabila tubuh Anda lincah, maka
pikiran Anda akan mampu berpikir cepat pula.
Nah, apa
yang dilakukan oleh para balerina dan penggemar olahraga yoga? Ya, mereka
melatih kelenturan tubuh mereka, sehingga pikiran mereka pun menjadi lentur
(fleksibel).
Apakah
penting memiliki pikiran yang fleksibel? Mari kita ulas kisah singkat saya di
atas.
Ketika
gambar saya dikatakan buruk, saya berpikir bahwa yang salah adalah tangan saya.
Padahal faktor utama penyebab masalah tersebut adalah pensil yang saya gunakan.
Apa
kesalahan saya? Ya, pikiran saya kurang fleksibel.
Ada
orang yang ketika mendapati sepeda motornya tidak bisa melaju, langsung mengisi
tangki bahan bakarnya hingga penuh.
Padahal
rantainya yang putus.
Ada
orang yang ketika mendapati tubuhnya gemuk, langsung berupaya menghilangkan
lemak di tubuhnya dengan cara olahraga mati-matian setiap hari.
Padahal
makanannya yang berlemak semua.
Ada
orang yang ketika mendapati bisnisnya hendak bangkrut, langsung memaksa
karyawannya bekerja lebih keras lagi.
Padahal
perencanaan bisnisnya yang tidak baik.
Lihat,
berbagai kegagalan dan hal sia-sia terjadi karena pikiran kita kurang
fleksibel.
Lantas
bagaimana caranya agar kita memiliki fleksibilitas berpikir yang baik? Mari
kita bicara tentang masa sekolah.
Sewaktu
Anda sekolah, Anda pasti menemui berbagai macam karakter guru, bukan? Ada guru
yang kejam sekali, memberi nilai kecil padahal kita sudah mengupayakan yang
terbaik. Ada pula guru yang baik sekali, memberi nilai besar walaupun kita
bermalas-malasan. Apa yang membuat mereka menilai kita berbeda? Ya, keterbukaan
pikiran terhadap usaha orang lain.
Apa
hubungannya?
Ingat,
keterbukaan pikiran sangat berpengaruh terhadap fleksibilitas berpikir
seseorang. Contohnya, guru yang kejam pikirannya tidak terbuka, sehingga
walaupun murid-muridnya sudah mengatakan "Saya
sudah mengupayakan yang terbaik, Bu.", guru itu tidak mau terima
dan tidak mau mengubah pikirannya. Pikirannya keras dan tidak fleksibel.
Lihat,
ketidakterbukaan pikiran menyebabkan hilangnya fleksibilitas berpikir
seseorang. Berarti sebenarnya kita tidak perlu mengupayakan diri untuk menjadi
pribadi yang memiliki fleksibilitas berpikir yang baik, kita hanya perlu tumbuh
menjadi pribadi dengan pikiran yang terbuka.
Bagaimana caranya
menjadi pribadi dengan pemikiran terbuka? Kembali, kita bicara seputar masa
sekolah.
Apakah Anda
memperhatikan guru yang kejam dan pemikirannya tidak terbuka itu? Apa yang
membedakan mereka dengan guru-guru yang baik dan pemikirannya terbuka?
Ya, ekspresi wajah.
Guru yang
pemikirannya terbuka lebih sering tersenyum ketimbang memasang wajah masam.
Sedangkan guru yang kejam melakukan hal yang sebaliknya. Sudah merupakan fakta dalam psikologi,
bahwa orang yang sering tersenyum pasti pemikirannya terbuka.
"Senyum dapat meningkatkan fleksibilitas berpikir.
Fleksibilitas berpikir itu penting. Karena tanpa fleksibilitas berpikir, kita
akan cenderung menemui kegagalan dan hal sia-sia."
Think Again - Sayoga R. Prasetyo
Jadi, mulai sekarang
tersenyumlah! Anda harus lebih sering tersenyum agar pemikiran Anda terbuka.
Karena orang yang pemikirannya terbuka, pasti peka melihat segala kemungkinan.
Orang yang peka melihat segala kemungkinan, pasti handal dalam memecahkan masalah
kehidupannya sendiri maupun masalah kehidupan orang lain.
Jadi, apakah Anda
masih malas untuk berbagi senyum dengan orang lain? Think Again.
Komentar
Posting Komentar
Ada tambahan? Atau ada sanggahan? Silakan utarakan :)