Semasa SMA, saya sering mengeluh karena
ketidakdisiplinan orang-orang di lingkungan sekolah saya. Guru sering datang
terlambat, siswa banyak yang kabur saat pelajaran berlangsung, staff keuangan
sering salah mencatat uang iuran siswa, dan masih banyak lagi. Saya khawatir
lingkungan seperti ini membuat saya tumbuh menjadi sosok yang tidak disiplin.
Saking khawatirnya, saya berdoa, "Tuhan, aku ingin memasuki sekolah yang
menjunjung tinggi kedisiplinan."
Kemarin saya sedang
menulis artikel di kampus. Tiba-tiba saja salah satu teman saya datang dan
mengumumkan sesuatu ke seluruh kelas,
Teman saya:
"Temen-temen, sertifikat Pelatihan Dasar 1 udah ada. Silakan ambil di
staff tata usaha. Terimakasih."
Saya langsung
bergegas menuju staff tata usaha. Ya, sertifikat Pelathan Dasar adalah salah
satu sertifikat yang saya tunggu. Mengapa?
Pelatihan Dasar 1
adalah salah satu pelatihan wajib di kampus saya. Pelatihan ini berbentuk
seperti seminar yang banyak membahas tentang tips-tips mengelola emosi, menghadapi tekanan, menjalani studi, dan
tips-tips yang lainnya. Dan pelatihan ini adalah salah satu syarat kelulusan
nanti.
Cara mengikutinya?
Sangat mudah. Kami hanya perlu mendaftar beberapa menit, duduk manis melihat
proyektor, lalu melihat puluhan teman sejawat yang terlelap di bangkunya
masing-masing.
Saya: "Saya
Sayoga, nomor 283, Pak"
Sang staff tata
usaha langsung mencari-cari nama saya.
Tidak ada.
Staff Tata Usaha 1: "Adek gak ikut pelatihan dasar ya?"
Saya: "Ikut
Pak. Saya hadir dan absen terus setiap hari."
Staff Tata Usaha 1: "Berarti adek gak lulus."
Saya memasang wajah
bingung.
Staff Tata Usaha 1: "Silakan lapor dan tanya ke gedung sebelah. Itu bukan urusan saya
soalnya."
Saya langsung
bergegas dengan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa saya tidak lulus
pelatihan? Sedangkan teman-teman saya yang selama pelatihan tertidur, bisa
lulus?
Saya: "Permisi
Pak, saya mau nanya. Saya sudah ikut pelatihan dasar 1, tapi kok gak dapet
sertifikatnya ya? Padahal saya udah datang setiap hari."
Staff Tata Usaha 2: "Berarti adek absen hariannya dinyatakan tidak lulus."
Saya: "Tapi
saya absen terus setiap hari, Pak."
Sang staff tersebut
langsung menuju ke dalam suatu ruangan berdinding kaca. Lalu merogoh suatu buku
dari dalam lemari.
Staff Tata Usaha 2: "Hmm ... Nomor 283 ya? Nih, tanda tangannya seharusnya total ada
8, tanda tangan adek Cuma ada 6."
Saya bingung
bercampur kaget ketika melihat tanda tangan saya yang jumlahnya berbeda dengan
peserta pelatihan lain.
Staff Tata Usaha: "Mungkin
Adek lupa tanda tangan. Lain kali jangan lupa tanda tangan makanya. Silakan
Adek ngulang pelatihan dasar 1 taun depan, siapin aja biayanya 500 ribu."
Sang Staff Tata
Usaha tersebut langsung meninggalkan saya sendirian di meja resepsionis. Saya
hanya bisa merenung sembari sedikit menunduk, benarkah saya lupa tanda tangan?
Mengapa mereka tidak memberikan toleransi?
Di belakang saya,
seorang ibu berusia paruh baya terkekeh-kekeh sendirian.
Ibu-Ibu: "Udah
cape-cape ikut pelatihan, disuruh ngulang gara-gara lupa tanda tangan harian.
Sakitnya tuh di sini .... "
****
Ya, saya sudah
bersusah payah meluangkan waktu untuk ikut pelatihan, ternyata saya dianggap
gagal hanya karena masalah sepele. Ditambah lagi saya harus menyiapkan uang
tambahan sebesar 500 ribu rupiah. Di saat seperti ini, mungkin sudah saatnya
saya menunjuk ke arah dada sambil berkata, "Sakitnya
tuh di sini ...."
Tetapi di samping
itu saya juga harus memetik hikmah dari kejadian naas ini.
Saya memang kesal
dengan perilaku Sang Staff Tata Usaha yang dengan angkuhnya tidak memberi
toleransi kepada saya. Tetapi, tunggu ... Bukankah ini adalah doa saya waktu
SMA dulu? Bukankah saya pernah berdoa ingin bersekolah di sekolah yang isinya
orang-orang disiplin semua?
Jadi, sebenarnya
kesedihan ini datang dari kesalahan saya sendiri. Saya mendoakan sesuatu yang
tidak baik untuk saya hanya karena saya mengikuti pemahaman sempit saya waktu
remaja dulu.
Tetapi mengapa doa
buruk saya dikabul? Bukankah Tuhan itu Maha Bijaksana?
Ya, memang. Justru
karena Tuhan itu Maha Bijaksana, maka Tuhan mengabulkan doa-doa buruk kita,
memaksa kita untuk menikmati rasa pahitnya, lalu kita akan paham bahwa
mendoakan sesuatu yang baik itu jauh lebih indah apapun alasannya.
"Tuhan itu Maha Pengabul Doa. Bahkan doa yang
salah pun, dikabul."
Think Again - Sayoga R. Prasetyo
Saya jadi mengenang masa-masa SMA dulu. Seandainya saya diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, mungkin saya akan ubah doa saya menjadi,
"Tuhan, aku tahu aku sekarang ada di lingkungan
yang tidak baik. Tapi jauhilah sifat-sifat buruk yang akan memburukkan masa
depanku. Dan dekatkanlah sifat-sifat baik yang akan membuatku menjadi lebih
bijaksana dan menderma di masa depan."
Berbeda bukan? Sekarang coba
Anda perhatikan doa seperti ini:
"Tuhan, aku ingin kaya."
Ya, dia kaya. Tetapi
sudah kaya, ia mengeluh karena ia tidak sebahagia orang yang hidupnya
berkecukupan. Coba kita ubah kalimatnya menjadi:
"Tuhan, baikkanlah rezekiku agar aku bisa lebih
mudah membangun kehidupan yang lebih sejahtera dan lebih mudah untuk
membahagiakan sesama."
Anda melihat
perbedaan? Belum? Oke, mari kita lihat contoh lain:
"Tuhan, aku ingin punya pacar cantik."
Ketika sudah punya
pacar cantik, mengeluh karena wanita itu doyan selingkuh. Coba kalau kita ubah
kalimatnya menjadi:
"Tuhan, dekatkanlah aku dengan jodohku yang
perilakunya baik, yang mampu mendamaikan hatiku karena kebaikan hatinya, dan
yang selalu menyebut namaku dalam doa-doa baiknya."
Apa yang membedakan?
Ya, doa kedua jauh
lebih rinci.
Mengapa secara
naluriah doa yang rinci terdengar lebih indah? Karena doa yang rinci mampu
mendeskripsikan keinginan kita dengan sangat jelas. Dan ketika doa itu
terkabul, maka akan sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Coba Anda renungkan.
Mungkin dulu Anda pernah berdoa,
"Tuhan, aku ingin dipekerjakan di perusahaan
A"
Ya, Anda diterima.
Tetapi kini Anda mengeluh karena pekerjaan di sana begitu melelahkan. Kalau
begitu, bukankah lebih baik kalau Anda ubah doa Anda menjadi,
"Tuhan, pekerjakanlah aku di perusahaan yang
pantas untuk kualitas pribadiku dan yang akan menghebatkan namaku di masa
depan."
Mungkin dulu Anda
pernah berdoa,
"Tuhan, aku ingin jadi siswa di sekolah B"
Ya, Anda menjadi
siswa di sana. Tetapi kini Anda mengeluh karena guru-guru Anda pemalas semua
sehingga Anda jadi ikut-ikutan malas. Kalau begitu, bukankah lebih baik jika
Anda ubah doa Anda menjadi,
"Tuhan, aku ingin menjadi siswa di sekolah yang
mampu mengubahku menjadi pribadi yang lebih dewasa dan mapan di masa
depan."
Lihat, sebagian
besar hal yang kita keluhkan dalam kehidupan ini adalah akibat dari
ketidakrincian doa kita di masa lalu.
Tidak, saya tidak
memaksa Anda untuk belajar ketatabahasaan agar mampu berdoa dengan baik. Tuhan
memahami semua jenis bahasa. Jadi?
Ubah kebiasaan
berdoa yang tidak rinci. Dari yang biasanya singkat dan datar, menjadi lebih
rinci dan deskriptif. Dari yang biasanya hanya mendoakan masa depan diri
sendiri, menjadi lebih berpihak kepada sesama. Dari yang biasanya hanya
meminta, menjadi lebih fokus pada penyampaian rasa syukur.
Komentar
Posting Komentar
Ada tambahan? Atau ada sanggahan? Silakan utarakan :)